Nuzys adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti yang berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatak istri nusyuz terhadap suaminya berarti merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz ikan dengan: “kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya”.
Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suami¬ seperti berkata lemah lembut dan tidak mengeras di hadapan suami, melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan yang dicegah suaminya, selama yang demikian tidak menyalahi norma agama; meminta izin kepada suami waktu akan bepergian keluar rumah, menjaga suami, harta suami dan harta kekayaannya; lain-lain kewajiban yang ditetapkan agama.
Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang ditetapkan agama melalui Al-Qur'an dan hadis Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya berhak atas dosa dari Allah dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga meru¬pakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri. Atas per¬itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan.
Allah SWT. menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan ¬nusyuz-nya seorang istri, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam an-Nisa' ayat 34:
Istri-istri yang kamu khawatirkan akan berlaku nusyuz, maka beri gajaranlah mereka dan berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika mereka sudah mentaatimu janganlah cari-cari jalan atasnya. Sesungguhn yaAllah Maha Tahu lahi Maha Besar
Ada tiga tahapan secara kronologis yang harus dilalui dalam menghadapi istri nusyuz sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut di atas:
Pertama: bila terlihat tanda-tanda bahwa istri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya itu adalah salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Bila dengan pengajaran itu si istri kembali kepada keadaan semula sebagai istri yang baik, masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan.
Kedua: bila istri tidak memperlihatkan perbaikan sikapnya dan memang secara nyata nusyuz itu telah terjadi dengan perhitungan yang objektif, suami melakukan usaha berikutnya yaitu pisah tempat tidur, dalam arti menghentikan hubungan seksual. Menurut ulama ¬hijrah dalam ayat itu juga berarti meninggalkan komunikasi dengan istri. Bila cara ini yang ditempuh, tidak boleh lebih dari tiga hari. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadis Nabi dari Abu Huraira bunyinya:
Tidak boleh seseorang muslim tidak bersapaan dengan temannya lebih dari tiga hari.
Dalam tahap ini yang boleh dilakukan hanyalah pisah ranjang dan tidak boleh memukulnya, berdasarkan zahir ayat di atas. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad sudah boleh me¬mukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena dalam tahap ini sudah jelas kedurhakaan tersebut. (Ibnu Qudamah: 674) Bila dengan usaha pisah ranjang ini istri telah kembali taat, persoalannya sudah selesai dan tidak boleh dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Ketiga: bila dengan pisah ranjang istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta'dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti sebagaimana bunyi hadis Nabi dari Abdullah bin Zar'ah menurut riwayat al-Bukhari yang bunyinya:
Rasul Allah SAW. bersabda: Seseorang tidak boleh memukul istrinya sebagainuma memukul budak kemudian ditidurinya.
Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah dapat diselesaikan. Namun bila dengan langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan baru dibolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. Firman Allah yang berbunyi:
Jika dia sudah taat kepadamu janganlah kamu mencari-cari jalan untuknya.
mengandung arti suami tidak boleh menempuh cara apapun selain dari itu termasuk menceraikannya. Dari pemahaman terhadap ayat di atas jelaslah bahwa Allah tidak menghendaki adanya perceraian kecuali setelah tidak menemukan cara lain untuk mencegahnya.
Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suami¬ seperti berkata lemah lembut dan tidak mengeras di hadapan suami, melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan yang dicegah suaminya, selama yang demikian tidak menyalahi norma agama; meminta izin kepada suami waktu akan bepergian keluar rumah, menjaga suami, harta suami dan harta kekayaannya; lain-lain kewajiban yang ditetapkan agama.
Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang ditetapkan agama melalui Al-Qur'an dan hadis Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya berhak atas dosa dari Allah dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga meru¬pakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istri. Atas per¬itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan.
Allah SWT. menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan ¬nusyuz-nya seorang istri, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam an-Nisa' ayat 34:
Istri-istri yang kamu khawatirkan akan berlaku nusyuz, maka beri gajaranlah mereka dan berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika mereka sudah mentaatimu janganlah cari-cari jalan atasnya. Sesungguhn yaAllah Maha Tahu lahi Maha Besar
Ada tiga tahapan secara kronologis yang harus dilalui dalam menghadapi istri nusyuz sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut di atas:
Pertama: bila terlihat tanda-tanda bahwa istri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya itu adalah salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Bila dengan pengajaran itu si istri kembali kepada keadaan semula sebagai istri yang baik, masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan.
Kedua: bila istri tidak memperlihatkan perbaikan sikapnya dan memang secara nyata nusyuz itu telah terjadi dengan perhitungan yang objektif, suami melakukan usaha berikutnya yaitu pisah tempat tidur, dalam arti menghentikan hubungan seksual. Menurut ulama ¬hijrah dalam ayat itu juga berarti meninggalkan komunikasi dengan istri. Bila cara ini yang ditempuh, tidak boleh lebih dari tiga hari. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadis Nabi dari Abu Huraira bunyinya:
Tidak boleh seseorang muslim tidak bersapaan dengan temannya lebih dari tiga hari.
Dalam tahap ini yang boleh dilakukan hanyalah pisah ranjang dan tidak boleh memukulnya, berdasarkan zahir ayat di atas. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad sudah boleh me¬mukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena dalam tahap ini sudah jelas kedurhakaan tersebut. (Ibnu Qudamah: 674) Bila dengan usaha pisah ranjang ini istri telah kembali taat, persoalannya sudah selesai dan tidak boleh dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Ketiga: bila dengan pisah ranjang istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta'dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti sebagaimana bunyi hadis Nabi dari Abdullah bin Zar'ah menurut riwayat al-Bukhari yang bunyinya:
Rasul Allah SAW. bersabda: Seseorang tidak boleh memukul istrinya sebagainuma memukul budak kemudian ditidurinya.
Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah dapat diselesaikan. Namun bila dengan langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan baru dibolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. Firman Allah yang berbunyi:
Jika dia sudah taat kepadamu janganlah kamu mencari-cari jalan untuknya.
mengandung arti suami tidak boleh menempuh cara apapun selain dari itu termasuk menceraikannya. Dari pemahaman terhadap ayat di atas jelaslah bahwa Allah tidak menghendaki adanya perceraian kecuali setelah tidak menemukan cara lain untuk mencegahnya.
0 komentar:
Posting Komentar