Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Kamis, 05 April 2012

linkfromblog business ppr

Diposting oleh Oliez

Advertise with my Blog

You've added your blog. However, before writing paid posts, you must activate it first. We need this to evaluate the popularity of your blog and calculate the size of the bonus, which will be credited to your account. To do this, we suggest you to write in your blog about LinkFromBlog marketplace and temporarily set somewhere (in the beginning, in the middle or at the end of the post) our invisible or visible counter. Do not put this counter on the pages that are not relevant to this post, in the footer or header. We need to know how many real people read about us, not just visit your blog. So, in order to activate your blog, write a post, include in it one of our visible or invisible counter codes and also our affiliate link or banner. If you use the visible counter in the post, then the affiliate link (or banner) is unrequired. If you do not want to write in your blog about us, you can just add a counter code in the last post and remove it after activation is done, but in this case you don't receive your bonus.

paid reviews

Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah. (lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab.
Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan unutk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat). Lihat Fiqhuz Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman 38.
Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah. (lihat kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad Abdul Baqi).
Sedangkan Imam An-Nawawi pengarang kitab Al-Hawi mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam.

Selasa, 03 April 2012

NUSYUZ SUAMI

Diposting oleh Oliez

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya.
Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau Nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya mu'asyarah bi al-ma'ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak mela¬kukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa' (4) ayat 128:

NUSYUZ ISTRI

Diposting oleh Oliez

Nuzys adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti yang berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatak istri nusyuz terhadap suaminya berarti merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz ikan dengan: “kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya”.

Mahar dalam pernikahan

Diposting oleh Oliez

Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk

uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri

MahardanNilaiNominal. Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya. Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya. Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral. Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu status perkawinannya.

Taqlid Dalam Ajaran Syiah Imamiah

Diposting oleh Oliez

Membaca basmalah secara jahr (dengan suara keluar, lawannya adalah sirr atau ikhfat yakni suara berbisik) bagi laki-laki (tidak bagi wanita) pada rakaat pertama dan kedua di dalam shalat-shalat jahriyah (yakni shalat magrib, isya dan subuh) hukumnya wajib. Demikianlah pandangan empat ulama madzhab Ahlulbait As tersebut.Adapun di dalam shalat-shalat ikhfatiyah (yakni shalat zhuhur dan asar), Rahbar hf. berpandangan bahwa hal itu disunatkan. Hal ini sama dengan pandangan Imam Khomeini ra., Ayatullah Arif Bahjat hf. dan juga menurut pandangan Ayatullah Sayyid Ali Sistani hf.
Menurut Rahbar hf. Apabila seseorang shalat secara munfarid (sendirian) dan ia tidak membaca empat tasbih pada rakaat ketiga dan keempat, tetapi memilih membaca surat Al-Fatihah, maka ia dibolehkan membaca basmalah (pada dua rakaat terakhir tersebut) secara jahr, walaupun secara ahwath mustahab hendaknya ia membacanya secara sirr juga. Menurut Imam Khomeini ra. Membaca basmalah secara sirr/ikhfat pada dua rakaat terakhir hukumnya wajib secara mutlak, yakni baik ia shalat sendiri ataupun berjamaah. Menurut Ayatullah Arif Bahjat hf. Secara ahwath mustahab hendaknya membaca basmalah secara sirr/ikhfat pada dua rakaat terakhir. Sedang menurut Ayatullah Sayyid Ali Sistani hf. -pada kondisi seperti itu- disunatkan membaca basmalah secara jahr.
DIarsipkan di bawah:
Mengapa Kita Sujud di atas Tanah?
Makna Sujud menurut Ahli Bahasa
Apabila kita mengkaji dan mengamati ucapan–ucapan para ahli bahasa dalam kitab-kitab mereka yang beragam tentang makna sujud, akan kita dapati bahwa mereka hampir sepakat bahwa arti sujud adalah al-khudû’, tunduk dan merendahkan diri. Dan setiap orang yang merendahkan diri dan menundukkan kepalanya ke tanah, maka ia berarti telah melakukan sujud. Oleh karena itu, setiap orang yang menundukkan kepalanya ke tanah dan merendahkan dirinya disebut sebagai orang yang sujud.
Demikianlah ahli bahasa mendefinisikan makna sujud. Bagi anda yang ingin mengetahui makna sujud lebih luas lagi, maka anda dipersilahkan untuk merujuk ke kitab-kitab mereka. Mereka telah bersepakat tentang makna sujud yang hakiki yaitu tunduk dan merendahkan diri. Adapun makna sujud di dalam salât adalah makna majazi bukan bermakna secara hakiki, karena meletakkan dahi di atas tanah itu menandakan adanya kerendahan dan ketundukan yang sempurna.

Jumat, 17 Februari 2012

Darah Istihadhah

Diposting oleh Oliez

Istihadhah berbeda dengan haidh. Perbedaan ini menuntut banyak hal. Terutama terkait dengan praktek ibadah. Pembahasan ringkas berikut insya Allah memberikan kemudahan untuk memahami apa sesungguhnya istihadhah itu

Sebagian wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji (kemaluan) di luar kebiasaan bulanannya (haidh) dan bukan karena melahirkan. Darah ini diistilahkan dengan darah istihadhah. Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, istihadhah adalah darah yang mengalir dari farji wanita di luar waktunya dan berasal dari urat yang dinamakan ‘adzil (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 4/17).

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatinya dengan darah yang keluar dari farji wanita di luar kebiasaan bulanannya, disebabkan urat yang terputus. (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 3/57)

Keluarnya darah istihadhah ini merupakan hal yang lazim dijumpai para wanita. Bukan hanya di masa sekarang, namun sejak dulu dan dialami pula oleh para wanita dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Menurut Al Imam Ash Shan`ani rahimahullah, jumlah shahabiyyah yang mengalami istihadhah di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencapai sepuluh orang, demikian menurut perhitungan ahlul ilmi, (Subulus Salam, 1/161). Bahkan ada yang menghitungnya lebih dari sepuluh.

Di antara mereka adalah Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha. Ia pernah datang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Wahai Rasulullah! Aku adalah seorang wanita yang ditimpa istihadhah maka aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”.(Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 333)

Bahkan di antara Ummul Mukminin (istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), ada pula yang ditimpa istihadhah seperti yang diberitakan Aisyah radliallahu anha:
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah i`tikaf bersama sebagian istrinya, (ada di antara mereka) yang sedang istihadhah dalam keadaan ia melihat keluarnya darah…” (HR. Al Bukhari no. 309, 310)

Ibnu ‘Abdil Barr t mengkisahkan, tiga orang putri Jahsyin semuanya mengalami istihadhah. Mereka adalah Zainab Ummul Mukminin, Hamnah istri Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Ummu Habibah istri ‘Abdurrahman bin Auf, semoga Allah meridhai mereka semuanya. (Syarah Muslim 1/23, Fathul Bari, 1/513)

Bahkan ada di antara shahabiyyah yang mengalami istihadhah selama bertahun-tahun, seperti dialami Ummu Habibah bintu Jahsyin radliallahu anha. Ia istihadhah selama 7 tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334.

Ada pula di antara mereka yang keluar darah istihadhah dengan deras dan sangat banyak seperti Hamnah bintu Jahsyin radliallahu anha. Ia pernah mengadukan keadaan dirinya:datang menemui Nabi
“Aku ditimpa istihadhah yang sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan penshahihan Al Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al Imam Al Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Keadaan Wanita yang Istihadhah

Keadaan pertama: Dia memiliki ‘adat (kebiasaan haidh) yang tertentu setiap bulannya sebelum ditimpa istihadhah. Ketika keluar darah dari farjinya, untuk membedakan apakah darah tersebut darah haidh atau darah istihadhah, kembali kepada kebiasaan haidhnya. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidhnya dan berlaku padanya hukum wanita haidh. Adapun di luar waktu itu bila masih keluar darah, berarti ia mengalami istihadhah dan berlaku pada dirinya hukum wanita suci (yakni suci dari haidh/ nifas).

Misalnya: seorang wanita ‘adatnya 6 hari di tiap awal bulan. Kemudian ia ditimpa istihadhah yang menyebabkan darah keluar terus menerus dari farjinya. Maka 6 hari di awal bulan itu dianggap haidh, selebihnya istihadhah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha. Fathimah menyangka, ia harus meninggalkan shalat karena istihadhah yang dialaminya. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan tuntunan:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (HR. Al Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim no. 333)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengatakan kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin x :
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (HR. Muslim no. 334)

Keadaan kedua: Ia tidak memiliki ‘adat tertentu sebelum ditimpa istihadhah ataupun ia lupa ‘adatnya, namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan darah haidh dengan istihadhah ia memakai cara tamyiz (mengenali sifat darah). Bila ia dapatkan bau tidak sedap dari darah yang keluar dan sifat-sifat lain yang ia kenali, berarti ia sedang haidh, selain dari itu berarti ia istihadhah.

Misalnya: seorang wanita keluar darah dari kemaluannya secara terus menerus, namun 10 hari yang awal darah yang keluar berwarna hitam selebihnya berwarna merah. Maka 10 hari yang awal itu dihitung haidh, selebihnya istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha:
“Apabila darah itu darah haidh, maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu, berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya, berwudhulah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani t dalam Shahih Abi Dawud no. 283, 284)

Muncul permasalahan, bagaimana bila wanita yang istihadhah punya ‘adat haidh dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz)? Mana yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz ?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Al Imam Malik, Asy Syafi‘i dan satu riwayat dari Al Imam Ahmad berpendapat tamyiz didahulukan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
“Apabila darah itu darah haidh maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah”. (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no. 283, 284)
Mereka juga beralasan tamyiz merupakan tanda yang jelas sekali, maka sepantasnya kembali kepadanya.

Adapun Abu Hanifah berpendapat ‘adat didahulukan. Pendapat ini dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan berdalil sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (HR. Muslim no.334)

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh Ummu Habibah untuk melihat kebiasaan haidhnya, meski Ummu Habibah bisa saja membedakan darah tersebut. Namun ternyata beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak meminta perincian, misalnya dengan bertanya: “Apakah darah yang keluar itu warnanya berubah?”. Jadi jelaslah, bahwa `adat-lah yang dipegangi bukan tamyiz.

Pendapat terakhir ini yang lebih benar, kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, dengan alasan:
1. Hadits yang di dalamnya ada penyebutan tamyiz diperselisihkan keshahihannya.
2. Penetapan dengan ‘adat lebih meyakinkan bagi seorang wanita karena sifat darah itu terkadang
berubah atau keluarnya bergeser ke akhir bulan atau awal bulan atau terputus-putus sehari berwarna hitam, hari berikutnya berwarna merah. (Asy Syarhul Mumti‘, 1/427)

Dengan demikian, bila seorang wanita ‘adatnya 5 hari, pada hari ke-4 dari masa haidhnya keluar darah berwarna merah seperti darah istihadhah, namun pada hari ke 5 kembali darahnya berwarna hitam, maka ia berpegang dengan ‘adatnya yang 5 hari sehingga hari ke-4 yang keluar darinya darah berwarna merah, tetap terhitung dalam masa haidhnya. Wallahu a‘lam.

Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaaan haidh (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan darah. Sementara, darah keluar terus menerus dari farjinya dan sifat darah itu sama (tidak berubah) atau tidak jelas. Maka cara membedakannya dengan melihat kebiasaan umumnya wanita, yaitu menganggap dirinya haidh selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya, dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Adapun selebihnya berarti istihadhah.

Misalnya: seorang wanita melihat pertama kali keluar darah dari vaginanya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah darah haidh atau bukan. Maka dia menganggap dirinya haidh selama 6 atau 7 hari dimulai hari Kamis. Hal ini berdasarkan sabda Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Hamnah:
“Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaitan, maka anggaplah dirimu haidh selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandilah, maka apabila engkau telah suci shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah. Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al Imam Al Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Al Imam Ash Shan‘ani rahimahullah berkata bahwa hadits ini menunjukkan, untuk menentukan haidh dengan yang selainnya, dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita. (Subulus Salam, 1/159)

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas: “Anggaplah dirimu haidh selama 6 atau 7 hari” bukanlah keraguan dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan 6 atau 7 hari–pent.) dan bukan pula disuruh memilih antara 6 atau 7 hari. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan demikian untuk mengajarkan bahwasanya kaum wanita memiliki dua `adat, di antara mereka ada yang haidh selama 6 hari dan ada yang 7 hari. Maka seorang wanita mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sebaya, dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam, 1/160)

Dan tentunya lebih pantas bagi wanita ini untuk melihat kerabatnya yang paling dekat seperti ibunya, saudara perempuannya, dan semisal mereka. Bukan kembalinya kepada kebiasaan umumnya wanita yang haidh, karena persamaan seorang wanita dengan kerabatnya lebih dekat daripada persamaannya dengan keumuman wanita. Demikian dikatakan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy Syarhul Mumti` (1/434).

Rabu, 01 Februari 2012

NIKAH SIRI

Diposting oleh Oliez

Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan siri yang dilakukan oleh selebritis) yang melatarbelakangi penulis dan tim penyusun untuk memilih topik “Nikah Siri” sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah dan presentasi mata kuliah Agama dan Etika Islam. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan “Pernikahan Siri” yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang salah mengartikan nikah siri dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik “Pernikahan Siri” ini kami angkat.
Besar harapan penulis dan tim penyusun agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai literatur atau sumber pencarian informasi terkait topik pernikahan siri. Maka dari itu, kami tim penyusun berusaha sebaik-baiknya untuk mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber dan narasumber untuk dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi oleh pihak-pihak yang membutuhkan
dilanjut besok yah

Total Tayangan Halaman